Friday, March 1, 2013

Review Movie IN TO THE WILD




Filem ini diputar lagi pagi ini jam 3.00 dini hari. Pada saat aku terbangun untuk lembur (kirain kerja di NGO ngga pake lembur ya hehe)
Judul filmnya IN TO THE WILD. Film produksi tahun 2007 yang diadaptasi dari novel berdasarkan kisah nyata kehidupan Chris McCandless, terbit tahun 1995 – 1996 gitu deh sayang, aku belum nemu bukunya.

Pertama kali aku menonton filem ini adalah 4 tahun lalu pada waktu bekerja Meulaboh, dini hari juga karena seingatnya cuma aku sendiri yang nonton diruang tamu kami dan sepertinya aku juga membuat catatan spontan setelah menontonnya.  Salah satu filem yang cukup meng-inspiratif.  Dicatatan ku yang dulu (ntah dimana kini dia berada :P) aku mengagumi, paradigma berbeda dari si tokoh dalam filem ini, yang berjuang sendiri untuk travelling ke Alaska dan bertahan hidup dengan cara yang sangat simple. Makan dari hasil buruan, menghabiskan waktu dialam dan hidup sendiri dalam van yang sudah tidak terpakai. Dia ingin membuktikan bisa bertahan hidup dengan bergantung pada dirinya sendiri. Pertama kali aku melihatnya aku terpana, terkagum dan pengen nyoba-nyoba juga travelling ala si tokoh utama walaupun ngga ekstrem2 amat.  

Tapi makin kesini, aku menyoroti sudut pandang berbeda dari filem ini, yaitu alasan si tokoh yang bernama Chris, melakukan hal se-ekstrem ini karena tidak tahan dengan pertengkaran orangtua mereka setiap hari. Pertengkaran itu disaksikan oleh adiknya dan dia, mungkin hampir setiap hari. Dan yang dipertengkarkan adalah soal uang (apalagi -_- )  kemudian sebuah buku yang dia baca pada saat tinggal di van tua (masih menuju Alaska) membuat dia tersenyum karena sependapat dengan pengarangnya bahwa kebahagiaan adalah kembali kedesa, kealam, buku, musik dan mencintai tetangga, jatuh cinta dan memiiliki anak. Di bagian ini dia tersenyum lebar : apalagi yang dibutuhkan oleh seorang lelaki.. :)
Banyak (atau hampir semua) moment yang menyentuh difilem ini. Perjumpaan dan perpisahan dengan orang – orang yang dijumpainya saat menuju Alaska. Dengan teman-teman hippies nya dan moment naksir – naksiran-nya dengan seorang cewek (dan aku baru ngeh kalau itu Kristen Stewart sekarang). Perjumpaan dengan seorang kakek, pensiunan angkatan yang jatuh cinta dengan kepribadian si Chris. Bahkan si kakek mau mengangkat Chris menjadi anak or cucunya tetapi hasrat membara dari tokoh utama untuk menahlukkan Alaska terlebih dahulu susah terbendung, jadi dia menjanjikan akan memikirkan tentang itu sepulang dari sana. Yang ternyata dia tidak pernah pulang.
Percakapan – percakapan yang menjadi dialog panjang di filem ini memperkaya batin bagi penonton.
Moment yang paling menyentuh adalah pada saat akhir-akhir filem. Saat itu dia gagal berburu dan harus menahan lapar karena tidak ada lagi makanan yang bisa dimakan. Kemudian salju yang datang memperparah sutiuasi. Karena tidak ada hewan yang lewat dan tumbuhan yang bisa dimakan belum tumbuh, akhirnya dia mulai memakan rumput liar. Rumput liar yang dia makan ternyata beracun yang mengakibatkan dia keracunan.
Seandainya saja si Chris ini bisa kembali pulang, sebenarnya happy ending banget, karena pada saat dia kabur dari rumah, akhirnya ibu bapaknya yang doyan bertengkar mulai bersatu dan mulai mencari tau tentang informasi dimana dia berada. Bahkan ada satu adegan dimana bapak ibunya berdoa bersama di kapel gereja.
Yup! Again, wise word that saying : u don’t know what u have until it’s gone happen in this film.

Filem yang bagus itu apabila memiliki moral story dan di filem ini banyak yang bisa ditarik menjadi moral story.
Kalau lagi bengong dirumah, ngga salah juga buat menontonnya. Sambil peluk2an dengan orang tersayang, maybe? ;-)

Note :
If you want something in life, reach and grab it. – Chris McCandless

Jakarta
Suatu senja …

0 komentar: